Beranda | Artikel
Jelang Ramadhan (Bagian 5)
Sabtu, 30 Maret 2019

Bab 5. Menempa Keikhlasan

Puasa Ramadhan adalah salah satu ibadah yang sangat utama. Karena di dalamnya terkandung nilai keikhlasan yang sangat besar. Dalam sebuah hadits qudsi Allah berfirman (yang artinya), “Puasa itu adalah untuk-Ku, dan Aku lah yang akan langsung membalasnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh sebab itulah puasa menjadi salah satu amalan yang paling utama disebabkan seorang hamba lebih mendahulukan ridha Allah daripada keinginan hawa nafsunya. Dia rela meninggalkan makanan dan minuman serta apa-apa yang disukai oleh hawa nafsunya semata-mata dalam rangka tunduk taat kepada Allah (lihat Majalis Syahri Ramadhan al-Mubarak, hlm. 12)

Sebagaimana dikatakan oleh para ulama bahwa hakikat ikhlas itu adalah melupakan pandangan makhluk dengan senantiasa memperhatikan penilaian dari al-Khaliq/Allah. Orang yang ikhlas berusaha menujukan setiap amalnya untuk Allah. Tidaklah dia melakukan suatu amalan karena ingin mendapat pujian, sanjungan atau mencari serpihan dunia atau memburu ketenaran di mata manusia. Di situlah nilai keutamaan puasa. Karena puasa yang hakiki melatih setiap muslim untuk memurnikan amalnya karena Allah. Di siang hari dia tidak mau menyentuh makanan dan minuman walaupun sedang sendirian dan tidak ada yang melihatnya; itu semua semata-mata karena takut kepada Allah.

Oleh sebab itu puasa merupakan salah satu bentuk ibadah yang tersembunyi. Orang lain tidak bisa melihat puasa tidaknya seorang dari penampilan atau perilaku lahiriahnya. Sebagaimana dikatakan oleh para ulama bahwa orang yang ikhlas itu gemar menyembunyikan kebaikan-kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan keburukan-keburukannya. Ketika ibadah puasa ini dilakukan secara bersama-sama maka ia pun menjadi terasa lebih ringan. Hal ini seolah memberikan pelajaran bagi kita bahwa keikhlasan itu akan bisa menjadi semakin ringan ketika ada kerjasama dan tolong-menolong dalam mewujudkannya. Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Seorang mukmin yang satu dengan mukmin yang lain ibarat sebuah bangunan; yang mana satu dengan yang lainnya saling memperkuat.” (HR. Bukhari)

Tidakkah kita ingat perkataan sebagian ulama salaf, “Betapa banyak amal yang kecil menjadi besar karena niatnya, dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil juga karena niatnya.” Meninggalkan makanan dan minuman apabila disertai niat menjalankan syari’at Allah dan dilakukan sesuai dengan ajaran nabi maka ia berubah menjadi ibadah dan membuahkan pahala. Sebaliknya apabila meninggalkan makanan dan minuman hanya untuk mengurangi berat badan saja atau menghemat pengeluaran semata maka itu tidak membuahkan pahala.

Keikhlasan merupakan sesuatu yang paling berharga untuk dijaga dalam kehidupan seorang hamba. Sebab Allah tidak akan menerima amal apapun darinya tanpa keikhlasan. Ketika Allah mengisahkan sifat kaum munafik Allah menggambarkan bahwa mereka adalah orang-orang yang malas untuk mendirikan sholat dan tidak berdzikir kepada Allah kecuali sedikit sekali. Hal itu disebabkan kosongnya ibadah mereka dari pondasi keikhlasan. Bahkan walaupun mereka membangun sebuah masjid, tetapi karena ia dibangun tidak di asas takwa dan keikhlasan maka bangunan itu justru menyeret mereka ke dalam jurang neraka Jahannam, wal ‘iyadzu billah

Apabila demikian besar nilai keikhlasan yang tersimpan di balik ibadah puasa, maka sungguh tidak layak apabila seorang muslim justru menjadikan ibadah dan amalan-amalannya sebagai batu loncatan untuk mengeruk kepalsuan dunia dan fatamorgana. Bahkan semestinya dia jadikan seluruh amalnya itu murni untuk Allah dan mencari keutamaan di sisi Allah. Apabila dia bersedekah maka hendaklah sedekahnya itu ikhlas karena Allah. Apabila dia berdakwah maka hendaklah dakwahnya itu ikhlas karena Allah. Apabila dia sholat hendaklah sholatnya itu ikhlas karena Allah. Apabila dia membaca al-Qur’an maka hendaklah bacaannya itu ikhlas karena Allah. Demikianlah seterusnya. Apabila seorang hamba diberi taufik oleh Allah untuk mewujudkan nilai-nilai keikhlasan itu pada setiap amalnya sungguh dia akan keluar dari bulan Ramadhan dengan membawa keberuntungan yang sangat besar dan pahala yang tiada terkira. 

Karena itulah para ulama kita mengatakan bahwa sesungguhnya amalan-amalan itu akan berbeda-beda nilai keutamaan dan pahalanya disebabkan kualitas keikhlasan dan keimanan yang bersemayam di dalam hati pelakunya. Dari sinilah sesungguhnya kita bisa memetik hikmah bahwa keutamaan puasa itu tidak bisa lepas dari peranan aqidah dan penyucian jiwa. Aqidah merupakan pondasi amalan dan penyucian jiwa menjadi sarana untuk membersihkan hati dari segala kotoran perusak amalan dan penghancur kebaikan. Maka bukanlah puasa yang sejati orang yang tidak melandasi amalnya di atas aqidah yang benar dan tidak menjaga lisan dan anggota badannya dari hal-hal yang merusak nilai puasanya di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala.


Artikel asli: https://www.al-mubarok.com/jelang-ramadhan-bagian-5/